TEORI MIMPI DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI SUFI IBN ARABI DAN PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD
Sumber : http://psi-islami.blogspot.com/2006/06/teori-mimpi-dalam-perspektif-psikologi.html
Pendahuluan
Hampir sepertiga bahkan lebih dari kehidupan manusia pada umumnya dihabiskan untuk tidur. Jika usia rata-rata manusia 60 tahun, maka selama 20 tahun diisi dengan tidur. Waktu yang tidak sedikit bukan? Namun dengan tidur, tidak berarti manusia melewati masa sia-sia karena tidur menjaga metabolisme tubuh agar tetap stabil. Menurut hasil penelitian, setelah 72 jam tidak tidur, akan menyebabkan gangguan psikotik.Dengan tidur pula, kita dapat mengakses dunia yang memperantarai dua alam (fenomena dan abstrak) melalui mimpi.
Mimpi juga memiliki manfaat,
1) sebagai pemenuhan keinginan terlarang (Freud) misalnya: menonjok jidat pejabat negara yang kita benci tanpa dipidanakan, dan jika beruntung, kita dapat “berhubungan seksual” dengan artis idola dunia yang cantik atau ganteng.
2) sebagai sumber ilmu maupun risalah kenabian (Ibn Arabi).Sadruddin Qunawi, murid Ibn Arabi mengatakan bahwa “Syeikh kita Ibn Arabi memiliki kemampuan bertemu dengan ruh nabi atau wali yang telah meninggal dunia, baik dengan cara membuatnya turun ke taraf dunia ini dan merenungkannya di dalam tubuh penampakan (surah mitsaliyah) yang serupa dengan bentuk indrawi orangnya atau dengan membuatnya muncul dalam mimpi, atau dengan melepaskan diri dari tubuh materiil supaya menemui sang ruh.
Dalam karya pertama yang sangat monumental, Interpretation of Dream, Freud menjadikan mimpi sebagai obyek riset psikoanalisis untuk mengatasi gangguan-gangguan neurosis pada pasiennya. Dengan karyanya ini, Freud mulai diperhitungkan perannya dalam dunia psikologi. Tidak sedikit yang dipengaruhinya, diantaranya C.G. Jung, Alfred Adler yang kemudian bergabung dibawah naungan psikoanalisis Freud, meski tidak berlangsung lama. Bahkan, banyak ahli psikoterapi yang menekankan pentingnya analisa mimpi.
Kalau kita lacak lebih jauh, sekitar 600 tahun sebelum teori ini muncul, Ibn Arabi (filosof sekaligus sufi dari Spanyol) sebenarnya pun sudah banyak membahas tentang mimpi. Banyak kelebihan teori mimpinya yang tidak dimiliki oleh Freud, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya tulisan ini tidak bermaksud untuk menonjolkan kelebihan satu tokoh diantarannya, namun lebih menekankan pada titik temu sekaligus perbedaannya untuk mencari sinergi bagi lahirnya sebuah teori tentang mimpi yang lebih utuh untuk pengembangan psikoterapi di masa mendatang.
Definisi Mimpi
Menurut Freud, mimpi adalah penghubung antara kondisi bangun dan tidur. Baginya, mimpi adalah ekspresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya dari keinginan-keinginan yang terlarang diungkapkan dalam keadaan terjaga.
Jika Freud seringkali mengidentifikasi mimpi sebagai hambatan aktivitas mental tak sadar dalam mengungkapkan sesuatu yang dipikirkan individu, beriringan dengan tindakan psikis yang salah, selip bicara (keprucut), maupun lelucon, maka Ibn Arabi mengidentifikasinya sebagai bagian dari imajinasi.
Bagi Ibnu Arabi, karena mimpi adalah bagian dari imajinasi, maka untuk memahami terminologi mimpi dalam khazanah pemikirannya, terlebih dahulu mengacu pada makna imajinasi itu sendiri. Baginya, imajinasi adalah tempat penampakan wujud-wujud spiritual, para malaikat dan roh, tempat mereka memperoleh bentuk dan figur-figur “rupa penampakan” mereka, dan karena disana konsep-konsep murni (ma`ani) dan data indera (mahsusat) bertemu dan memekar menjadi figur-figur personal yang dipersiapkan untuk menghadapi drama event rohani.
Ia juga menambahkan, bahwa kecakapan imajinasi itu selalu aktif baik sedang dalam keadaan bangun maupun dalam keadaan tidur. Selama jam-jam bangun kecakapan ini juga disimpangkan oleh kesan-kesan indera (sense impression) untuk melakukan pekerjaannya secara wajar, tapi dalam keadan tidur, ketika indera-indera dan kecakapan lainya sedang istirahat, imajinasi terbangun semua.
Hakikat Mimpi
Pada dasarnya hakikat mimpi bagi psikoanalisis hanyalah sebentuk pemenuhan keinginan terlarang semata. Dikatakan oleh Freud (dalam Calvin S.Hal & Gardner Lindzaey, 1998) bahwa dengan mimpi, seseorang secara tak sadar berusaha memenuhi hasrat dan menghilangkan ketegangan dengan menciptakan gambaran tentang tujuan yang diinginkan, karena di alam nyata sulit bagi kita untuk mrengungkapkan kekesalan, keresahan, kemarahan, dendam, dan yang sejenisnya kepada obyek-obyek yang menjadi sumber rasa marah, maka muncullah dalam keinginan itu dalam bentuk mimpi.
Sementara dalam teori Ibn Arabi lebih bersifat komplementer, setidaknya dalam hal ini, disamping memiliki substansi sebagai pemenuhan keinginan, Ibn Arabi juga memandang situasi penciptaan sebagai pernyataan tidur, dimana kosmos (semesta-pen) yang tercipta terlihat sebagai mimpi Ilahi. Pengalaman manusia merupakan citra mikrokosmik. Oleh karena itu, seluruh situasi penciptaan yang memerlukan alam “yang lain” untuk mempengaruhi tujuannya, dapat dipandang sebagai semacam lamunan Ilahi, dimana ilusi sesuatu yang “bukan Aku” diperkenalkan pada kesadaran Ilahi sebagai refleksi posibilitasnya.
Jenis dan Manfaat Mimpi
Freud mengenalkan satu jenis mimpi yaitu mimpi kanak-kanak, dimana pada tahun-tahun berikutnya akan ditemukan mimpi yang bertipe sama, bahkan pada orang dewasa, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi yang valid serta dapat digeneralisasi pada tahapan berikutnya. Tekhnik tersebut lazim dilakukan oleh Freud, sebagaimana acuan tahapan-tahapan psikoseksual dalam teori kepribadiannya.
Berbeda dengan Jung, rekan sekaligus muridnya, yang membagi mimpi menjadi dua; mimpi retrospektif dan mimpi introspektif.
Sedangkan Ibn Arabi membagi mimpi menjadi tiga, Pertama; mimpi atau kesan-kesan yang berhubungan dengan kejadian sehari-hari dari orang itu dan mengirimkannya ke ”mata batin” dari hati yang merefleksikan dan membesarkan mereka seperti layaknya sebuah cermin. Dengan cara inilah, mimpi biasa muncul sebagai asosiasi-asosiasi dari pikiran-pikiran (ideas) dan kesan-kesan (images) yang menghubungkan diri mereka sendiri dengan beberapa obyek syahwat.
Jika kita cermati, melihat manfaat jenis mimpi Ibnu Arabi tersebut ada kemiripan dengan teori Freud, meski ia tidak mengkategorikannya sebagai bagian jenis mimpi. Freud menyebutnya sebagai pemenuhan atau refleksi keinginan seseorang, baik berupa kesenangan, maupun sesuatu yang mengerikan (mimpi buruk) sekalipun. Baginya, hal itu terjadi karena adanya mimpi yang terdistorsi yang tidak memperlihatkan adanya pemenuhan keinginan yang jelas sehingga harus dicari terlebih dahulu dan diinterpretasikan. Kita juga mengetahui bahwa keinginan yang mendasari mimpi yang terdistorsi adalah keinginan-keinginan yang dilarang dan ditolak oleh penyensoran, sehingga eksistensi mereka menjadi penyebab distorsi dan merupakan motif campur tangan penyensoran.
Ibn Arabi menyatakan bahwa walaupun mimpi-mimpi semacam itu dapat dipercaya, namun itu harus ditafsirkan karena hanya berupa simbol-simbol saja. Imajinasilah yang mensuplai simbol-simbol itu. Dan kita tidak harus mengambil simbol-simbol itu secara realitas. Ketika Nabi melihat susu di dalam mimpinya, ia hanya melihat simbol saja, kualitas di balakang air susu itu adalah “pengetahuan”.11Freud mengatakan bahwa simbolisme merupakan bagian paling mengagumkan dalam teorinya. Karena dalam beberapa kondisi, simbol memungkinkan kita menginterpretasikan mimpi tanpa harus mengajukan pertanyaan pada orang yang mengalami mimpi yang kadang-kadang malah tidak bisa memberitahukan apa-apa tentang simbol-simbol itu.
Disini Freud juga mencoba menyimpulkan beberapa hal mengenai simbolisme dalam mimpi. Pertama; kita menentang pendapat bahwa orang yang bermimpi merasa tidak mengetahui bahwa simbol-simbol berhubungan dengan kehidupan dalam kondisi bangun. Kedua; hubungan simbolik bukan sesuatu yang khas bagi orang yang bermimpi, tapi ruang lingkup simbolisme sangat luas. Simbolisme mimpi hanya bagian kecil saja. Ini berbeda dengan simbolisme pada mitos, dongeng dan sebagainya. Ketiga; simbolisme yang muncul di bidang lain ternyata berhubungan dengan tema-tema seksual seperti dalam mimpi simbol-simbol yang sama juga melambangkan obyek dan hubungan seksual, misalnya: simbol phallic (alat kelamin) yang diinterpretasikan Jung sebagai unsur arketipe “mana” (spiritual).
Tapi bagi Freud dianggap sebagai alat kelamin yang sebenarnya. Intinya, Freud seringkali mengkait-kaitkan simbolisme dalam mimpi sebagai organ atau aktivitas seksual seperti; sepatu, sandal, dataran, kebun serta bunga sebagai perlambang vagina, sementara dasi diartikan sebagai penis, dan bahan dasi (linen) adalah lambang milik wanita. Sedangkan baju dan seragam melambangkan ketelanjangan. Keempat: simbolisme adalah faktor kedua dan faktor independen dalam distorsi mimpi yang hidup berdampingan dengan penyensoran.12Adapun manfaat yang dapat dipetik dari jenis mimpi ini adalah berupa; pengetahuan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.